FH Unila Gelar Seminar Nasional, Hadirkan Tokoh Penting dari Ahmad Doli Kurnia Hingga Dr. Wendy Melfa

41

BANDAR LAMPUNG, BERITAANDA – Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) menggelar seminar nasional bertajuk ‘Konstitusionalitas Pemisahan Pemilu: Tantangan Legislasi dan Implementasi di Indonesia’, Selasa (14/10/2025), di Ruang Auditorium Prof. Abdulkadir Muhammad SH.

Seminar tersebut menghadirkan sejumlah tokoh nasional dan akademisi terkemuka.

Pembicara pertama, Dr. H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung S.Si MT, anggota Komisi II DPR RI sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, akan memaparkan pandangan terkait kebutuhan revisi UU Pemilu dan UU Pilkada pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia juga akan membahas dinamika politik hukum di parlemen dalam merespons perubahan desain pemilu serta konsekuensi pemisahan pemilu terhadap siklus legislasi, masa jabatan pejabat publik, dan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Selanjutnya, Dr. Wendy Melfa, penggiat Ruang Demokrasi (RuDem) sekaligus mantan Bupati Lampung Selatan, akan mengulas peran masyarakat sipil dalam mengawal implementasi pemisahan pemilu. Ia juga akan menyampaikan kritik dan rekomendasi guna memastikan transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk isu-isu advokasi seperti perlindungan hak pilih, akses informasi, dan pengawasan publik.

Pembicara ketiga adalah Dr. Budiyono SH MH, akademisi Hukum Tata Negara FH Unila sekaligus salah satu kandidat kuat Calon Rektor Unila. Ia akan membahas secara mendalam aspek konstitusionalitas pemisahan pemilu berdasarkan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, dengan menguraikan dasar hukum dalam UUD 1945, khususnya Pasal 22E, serta implikasinya terhadap sistem presidensial. Selain itu, ia juga akan menyoroti potensi deadlock konstitusional dan menawarkan solusi normatif.

Dekan FH Unila Dr. M. Fakih SH MS menjelaskan, bahwa seminar nasional ini digelar sebagai respon atas dinamika hukum dan politik pasca putusan MK tersebut. Menurutnya, pemilihan umum merupakan sarana utama dalam mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun 1945.

“Sejak Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menetapkan pemilu serentak, pelaksanaan pemilu nasional dan daerah dilakukan dalam satu hari pencoblosan yang dikenal sebagai ‘pemilu lima kotak’. Harapannya, sistem ini dapat menyederhanakan penyelenggaraan, meningkatkan efisiensi, serta memperkuat sistem presidensial. Namun dalam praktiknya, justru muncul berbagai persoalan, mulai dari beban kerja berlebihan bagi penyelenggara, kompleksitas logistik, kelelahan pemilih, hingga tumpang tindih kepentingan antara agenda politik nasional dan lokal,” jelas Fakih.

Lebih lanjut, Fakih menuturkan bahwa perdebatan akademik dan praktis mengenai efektivitas pemilu serentak semakin mengemuka setelah MK mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni 2025. Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah harus dipisahkan dengan jarak waktu paling singkat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan antara pelantikan pejabat hasil pemilu nasional dan penyelenggaraan pemilu daerah.

“Putusan ini sekaligus membatalkan ketentuan dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu dan beberapa pasal dalam UU Pilkada yang selama ini menjadi dasar penyelenggaraan pemilu serentak,” ujarnya.

Menurutnya, konsekuensi dari putusan tersebut sangat luas. Dari sisi legislasi, DPR dan pemerintah harus segera melakukan penyesuaian undang-undang agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dari sisi implementasi, penyelenggara pemilu perlu menyiapkan skema baru yang mencakup penjadwalan ulang, alokasi anggaran tambahan, serta penataan logistik dan sumber daya.

Selain itu, muncul kekhawatiran akan potensi deadlock konstitusional karena jadwal baru berimplikasi pada masa jabatan kepala daerah, anggota DPRD, serta sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah.

“Dengan kompleksitas tersebut, diperlukan forum akademik untuk mengkaji lebih dalam konstitusionalitas pemisahan pemilu, tantangan legislasi, serta problematika implementasinya. Seminar nasional ini diharapkan menjadi ruang diskusi kritis dan konstruktif antara akademisi, praktisi hukum, penyelenggara pemilu, legislator, dan masyarakat sipil, sehingga lahir gagasan serta rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat demokrasi sekaligus menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia,” pungkasnya. (*)

Bagaimana Menurut Anda