LAMPUNG SELATAN, BERITAANDA – Langkah Kepala Dinas Kominfo Lampung Selatan (Lamsel) Anasrullah patut diacungi jempol. Pasalnya, ia komitmen untuk kerja sama (MoU) di tahun 2024 dilakukan secara tertib administrasi.
Karena secara legal standing yang menjalin kerja sama adalah perusahaan media, bukan pribadi jurnalis, sehingga diperlukan adanya perusahaan media yang spesifik dan harus sesuai dengan standar perusahaan pers.
Langkah ini merupakan pilihan, asas kepatutan dan keadilan bagi seluruh pemilik media lainya, agar tertib berkas dan administrasi. Ini juga sesuai regulasi dan Peraturan Dewan Pers No:03/Peraturan-DP/X/2019 tentang standar perusahaan dewan pers. Dimana diantara butirnya adalah sesuai bab 1 soal ketentuan umum. Pasal 1 tertulis bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi media cetak, media penyiaran, media siber dan kantor berita. Serta kantor berita lainya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.
Kebijakan Anasrullah sontak mendapat dukungan oleh organisasi pemilik media di Indonesia yang juga merupakan konstituen Dewan Pers. Selain ranah itu ada pada mereka, hal lain juga tentu sebagai pembeda perusahaan yang sehat dengan oknum media ‘abal-abal’.
Diantaranya ialah Ketua Jaringan media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Lampung Ahmad Novriwan. Ia mengatakan, perusahaan merupakan suatu kewajiban dan keharusan yang tak dapat ditawar-tawar sebagai legalitas dasar perusahaan media.
“Perusahaan media wajib memiliki badan hukum yang sah, atau umum saat ini disebut Perseroan Terbatas (PT). Tanpa itu maka belum bisa disebut perusahaan media, karena semua tertaut dan menjadi aturan wajib hukum negara yang harus dipenuhi bagi pengusaha dan pemilik usaha,” katanya.
Secara umum ia juga menyebut bahwa wartawan adalah pelaku kegiatan jurnalistik di lapangan yang dibekali identitas jelas dari kantornya, sedangkan perusahaan adalah tempatnya wartawan bernaung atau sering disebut perusahaan media. Jadi keduanya saling terikat, harus jelas dan spesifik.
“Intinya, keduanya harus jelas. Kalau wartawannya jelas dan perusahaannya jelas kan enak, jelas pertanggungjawabannya. Kalau perusahaannya tidak ada, ya jelas salah. Selain salah, juga merugikan pemilik media lain. Mereka lapor pajak, bayar pajak, patuhi regulasi ini dan itu, tentu tidak bisa disamakan dengan oknum media tidak sehat tadi,” imbaunya.
Hal yang sama juga datang dari Sekretaris SMSI Lampung H.Senen S.Kom. Ia menuturkan, bahwa syarat media massa adalah berbadan hukum alias PT. Kalau tidak memiliki PT, berarti media sosial.
“Itu aturan jelas, namanya perusahaan pers ya harus jelas izinnya, kalau itu tidak ada maka konsekuensinya apabila ada delik aduan menggunakan UU ITE bukan UU Pers,” tutur Senen.
Untuk diketahui, perbedaan pendapat soal perusahaan media ini muncul akibat adanya beberapa oknum media lokal di Lampung Selatan yang menuntut Kominfo agar memperhatikan kearifan lokal. Dengan maksud tetap dapat kerja sama di Kominfo, namun secara kewajiban berkas mereka dianggap Kominfo belum lengkap, sehingga diminta tertib administrasi dan melengkapi.
Namun kemudian, sejumlah jurnalis menilai berbeda. Mereka menggelar aksi unjuk rasa ke Dinas Kominfo terkait persyaratan perpanjangan kerja sama dengan perusahaan itu tidak mendasar dan salah sasaran. Pasalnya, persyaratan kerja sama tersebut diperuntukkan untuk perusahaan yang berbadan hukum dalam bentuk PT (Perseroan Terbatas), bukan untuk personal profesi jurnalis.
Kadis Kominfo Lampung Selatan Anasrullah menyatakan, bahwa pihaknya tidak bekerja sama dengan personal jurnalis atau pribadi wartawannya.
Menurut Anasrullah, pihaknya melakukan kerja sama dengan sebuah perusahaan yang berbadan hukum setingkat PT (Perseroan Terbatas) yang bergerak di bidang pers.
“Karyawan dari perusahaan atau PT yang bekerja sama dengan kami di Dinas Kominfo diantaranya yaitu teman-teman yang berprofesi sebagai reporter, jurnalis, dan lainya,” ujarnya.
Anasrullah pun berharap, rekan-rekan wartawan di Lampung Selatan jauh lebih bisa berdaya dan sejahtera ketika mereka bekerja sebagai jurnalis di perusahaan atau PT yang melakukan kerja sama dengan Dinas Kominfo.
“Jadi catat ya, mohon di garis bawahi, ada narasi bahwa kebijakan Dinas Kominfo tidak pro terhadap kearifan lokal, dan saya dipandang arogansi semena-mena. Saya pastikan itu tidak benar,” kata Anasrullah. (*)