



BANDAR LAMPUNG, BERITAANDA – Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Lampung, Juniardi SIP SH MH, mengingatkan Polresta Bandar Lampung untuk memahami Memorandum of Understanding (MoU) antara Polri dan Dewan Pers terkait penanganan sengketa pemberitaan.
Juniardi menegaskan, bahwa penyidik kepolisian tidak boleh melakukan proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap wartawan terkait karya jurnalistik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan MoU antara Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Dewan Pers mengenai penanganan sengketa pers.
“Karya jurnalistik dan narasumber berita adalah bagian yang tak terpisahkan. Karena itu, keduanya tidak bisa dikriminalisasi. Baik berita hasil karya jurnalistik maupun narasumbernya tidak boleh dikriminalisasi,” ujar Juniardi, Selasa (11/2/2025).
Pernyataan mantan wartawan Lampung Post, yang kini menjadi bagian dari Kelompok Media Indonesia tersebut, merespons laporan seorang pejabat Dinas Sosial Kota Bandar Lampung terhadap media tintainformasi.com atas dugaan pelanggaran UU ITE atau kasus pencemaran nama baik.
“Kita sudah memiliki MoU dengan Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Panglima TNI terkait pengaduan terhadap karya jurnalistik. Jadi, jika ada laporan terhadap wartawan ke polisi, kasus tersebut harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Dewan Pers. Jangan sampai kasus ini justru memperburuk indeks kebebasan pers di Lampung,” tambahnya.
Juniardi juga mengingatkan bahwa MoU antara Kapolri dan Dewan Pers dalam penanganan sengketa pers harus disosialisasikan dan dipahami oleh pihak terkait, terutama penyidik kepolisian, agar memiliki pemahaman yang sama terhadap fungsi dan peran wartawan dalam menjalankan tugasnya.
“Tidak boleh ada proses BAP, termasuk permintaan nama, alamat, serta informasi pribadi wartawan. Jika wartawan dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi, ia pun berhak menolaknya dan tidak dapat dipanggil paksa oleh pengadilan,” tegas mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung ini.
Alumni Magister Hukum Universitas Lampung (Unila) ini juga meminta aparat penegak hukum, termasuk kepolisian, untuk tidak memanggil wartawan atau redaktur guna dimintai keterangan terkait permasalahan hukum yang melibatkan pemberitaan.
“Dalam standar perlindungan wartawan yang diratifikasi oleh Dewan Pers, pihak yang bertanggung jawab atas karya jurnalistik adalah penanggung jawab media,” jelasnya.
Pemimpin Redaksi sinarindonesia.id dan sinarlampung.co ini menambahkan, bahwa penanggung jawab media mencakup pimpinan umum, pimpinan redaksi, atau pimpinan perusahaan.
“Jadi, polisi atau pengadilan seharusnya tidak memanggil wartawan atau redaktur jika ada permasalahan hukum terkait pemberitaan. Pihak yang dapat dipanggil adalah pimpinan umum, pimpinan redaksi, atau pimpinan perusahaan,” katanya.
Bahkan, lanjutnya, keterangan yang diminta oleh aparat penegak hukum seharusnya hanya berkaitan dengan isi pemberitaan dan tidak mencakup hal-hal di luar materi jurnalistik.
Dibeberapa negara, seperti Amerika Serikat, ada konvensi yang memungkinkan polisi memanggil wartawan, tetapi mereka harus dapat membuktikan bahwa keterangan wartawan merupakan satu-satunya cara untuk mengungkap suatu skandal.
“Itu konvensi di Amerika. Namun, dalam standar perlindungan wartawan yang diratifikasi oleh Dewan Pers, penanggung jawab media tetap menjadi pihak yang bertanggung jawab atas pemberitaan,” katanya.
Juniardi juga menyoroti bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada wartawan yang menjadi korban kekerasan. Namun hingga saat ini, negara cenderung melakukan pembiaran terhadap berbagai kasus kekerasan terhadap wartawan, seperti kasus Udin dari Bernas yang belum terselesaikan hingga 14 tahun berlalu.
“Negara masih gagal memberikan keadilan kepada wartawan,” ujarnya.
Ada empat ratifikasi yang telah disahkan oleh Dewan Pers, yakni standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, kode etik jurnalistik, dan standar perlindungan profesi wartawan.
“Standar perusahaan pers mewajibkan upah wartawan minimal setara dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan harus diberikan minimal 13 kali dalam setahun, termasuk tunjangan hari raya (THR). Selain itu, perusahaan pers juga harus memberikan perlindungan hukum bagi wartawan yang bertugas di lapangan serta menyediakan pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan profesionalisme,” jelasnya.
Menurut Juniardi, pelatihan bagi wartawan sangat penting, terutama bagi mereka yang bertugas di wilayah konflik. Mereka harus mendapatkan pelatihan tentang jurnalisme damai, sementara pelatihan dasar juga harus diberikan untuk menentukan standar kompetensi wartawan. (*)