



OGAN KOMERING ILIR, BERITAANDA – Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (Pemkab OKI) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan (Sumsel) memperkuat koordinasi dalam upaya memitigasi interaksi negatif antara manusia dan gajah di Kecamatan Air Sugihan.
Bupati OKI H. Muchendi menyatakan komitmen serius pemerintah daerah dalam mencari solusi terhadap konflik yang masih terjadi di kawasan tersebut.
“Bersama BKSDA dan pihak terkait, kami terus berupaya menemukan solusi dan mencapai kesepahaman dalam penanganan konflik gajah di Air Sugihan, agar upaya yang telah dilakukan selama ini dapat dimaksimalkan,” ujar Bupati Muchendi, Jumat (23/5/2025)
Ia juga mengapresiasi langkah-langkah yang telah diambil sebelumnya, serta mendorong percepatan proses perizinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pembangunan tanggul gajah.
“Terkait AMDAL, perlu dilakukan percepatan melalui koordinasi dengan pemerintah provinsi dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” tambahnya.
Bupati Muchendi menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai satwa liar dan pelestarian lingkungan, serta cara menghindari interaksi negatif dengan hewan dilindungi tersebut.
Kepala BKSDA Sumsel Teguh Setiawan mengungkapkan, bahwa interaksi negatif antara manusia dan gajah di Air Sugihan disebabkan oleh berbagai faktor. Ia mencatat sebanyak 47 kejadian interaksi negatif di Kantong Habitat Gajah (KHG) Air Sugihan selama periode 2020 hingga Maret 2024, dengan puncak kejadian pada 2022 sebanyak 15 kasus.
Salah satu langkah strategis yang telah dilakukan adalah pemasangan GPS collar pada kawanan gajah. Langkah ini bertujuan untuk memantau pergerakan gajah secara real-time guna memprediksi potensi konflik.
“Dengan GPS collar, kami bisa mengetahui posisi gajah secara langsung dan melakukan tindakan preventif sebelum terjadi konflik,” jelas Teguh.
Pemerintah juga telah merencanakan pembangunan tanggul gajah sepanjang 38 kilometer dan pagar kejut sepanjang 10 kilometer di wilayah yang sering dilalui gajah. Tujuannya adalah untuk mengurangi interaksi negatif serta melindungi hasil pertanian dan keselamatan warga.
“Pembangunan ini penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus melindungi masyarakat,” ujar Teguh.
Selain pembangunan tanggul fisik, pemerintah bersama masyarakat juga menanam tanaman yang tidak disukai gajah di perbatasan permukiman. Ini disebut sebagai ‘tanggul vegetasi’. Tanaman tersebut meliputi kakao, kelengkeng, mangga, manggis, matoa, petai, rambutan, sawo, serai wangi, dan sukun timun.
BKSDA Sumsel juga mendorong pembentukan desa mandiri konflik sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi potensi interaksi dengan gajah.
“Penyadartahuan dan peningkatan kapasitas masyarakat di koridor Sugihan–Simpang Heran terus dilakukan agar mereka mampu melakukan mitigasi secara mandiri,” tutur Teguh.
Sebagai bentuk keseriusan, telah didirikan Posko Pagarapat di Air Sugihan. Posko ini merupakan kolaborasi antara masyarakat dari lima desa, perusahaan pemegang konsesi, dan Balai KSDA Sumatera Selatan. Tim terdiri dari mahout (pawang gajah), polisi kehutanan, tenaga pendamping, dan gajah binaan.
“Posko ini menjadi simbol koeksistensi manusia dan gajah melalui pendekatan berbagi ruang kehidupan. Ini memperkuat kemandirian masyarakat dalam menghadapi tantangan konservasi,” tutup Teguh. (Iwan)