Banjir dan Longsor Hantam Tapsel, Gus Irawan ‘Hantam’ Pembalak serta Kementeriannya Sekalian

222
Banjir dan Longsor Hantam Tapsel, Gus Irawan ‘Hantam’ Pembalak dan Kementeriannya Sekalian.

TAPANULI SELATAN, BERITAANDA – Disaat banyak kepala daerah memilih diam, menunduk, atau sibuk menggunting pita peresmian taman ketika hutan mereka pelan-pelan dirampas, Bupati Tapanuli Selatan (Tapsel) 2025–2030, Gus Irawan Pasaribu, tampil sebagai pengecualian.

Kabupaten Tapsel sebelumnya diguncang bencana besar. Sebanyak 13 dari 15 kecamatan diterjang banjir, longsor, dan pohon tumbang pada Selasa (25/11/2025), setelah curah hujan tinggi mengguyur sejak Senin (24/11/2025).

Hingga Sabtu (6/12/2025), Posko Bencana Tapsel 2025 mencatat 85 korban meninggal dunia, 69 luka-luka, 30 orang hilang, dan 6.971 warga terpaksa mengungsi. Rentetan korban inilah yang menjadi latar mengapa kemarahan publik dan keberanian seorang bupati tidak lagi bisa dibungkam.

Ditengah situasi genting tersebut, mantan anggota DPR RI itu bukan hanya bersuara lantang. Ia menantang langsung akar persoalan, pembalakan liar yang selama ini seolah kebal dari jerat hukum.

Keberanian itu tidak muncul setelah badai reda, melainkan justru selepas banjir dan longsor menghantam Garoga serta meninggalkan gelondongan kayu raksasa berserakan seperti “bangkai dosa” yang ditimbun bertahun-tahun.

Gus Irawan memilih menelusuri asal-usulnya. Dari situ, ia membuka sesuatu yang selama ini tersembunyi rapat: daftar nama pemegang izin yang diduga terhubung dengan aktivitas pembalakan.

Tanpa sensor dan tanpa kode samar, Gus Irawan mempublikasikan daftar Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) berikut luasannya:

  • Jalaluddin Pangaribuan, 20 hektare
  • Jont Anson Silitonga, 25 hektare
  • Muhammad Nur Batubara, 15 hektare
  • Muhammad Agus Irian, 21 hektare
  • Irsan Ramadan Siregar, 11 hektare
  • Hamka Hamid Nasution, 20 hektare
  • Feri Saputra Siregar, 20 hektare
  • David H. Panggabean, 19,8 hektare
  • Anggara Fatur Rahman Ritonga, lebih dari 48 hektare

Data itu tidak datang begitu saja. Dua surat resmi Pemkab Tapsel kepada Kementerian Kehutanan tidak pernah dijawab, barulah surat ketiga mendapat respons.

“Seolah bupati adalah pengemis data, bukan kepala daerah,” sindir Gus Irawan.

Membuka daftar itu memantik perhatian publik. Ada pula PHAT yang disebut aktif namun dinyatakan dibekukan, seperti milik Ramlan Hasri Siahaan (45 hektare) dan Asmadi Ritonga (14 hektare). Gus juga menyoroti dokumen SIPUHH yang menurut Kemenhut bukan izin penebangan, namun berisi nama, luas, dan koordinat.

“Kemenhut bilang SIPUHH bukan izin. Tapi nama ada, koordinat ada. Kalau itu bukan izin, apa?. Surat undangan jalan-jalan?” kritiknya.

Pernyataan Dirjen PHL Kemenhut, Laksmi Wijayanti, yang menyebut tidak ada izin penebangan pada Oktober 2025, justru memicu lebih banyak tanda tanya. Dokumen yang dibuka Gus menunjukkan sebaliknya: kementerian bukan hanya mengetahui, tetapi ikut menandai wilayah yang kini rusak.

“Kemenhut bilang itu APL, wilayah daerah. Tapi mereka yang menerbitkan dokumennya. Kalau bukan izin, kenapa dikeluarkan?” ujar Gus Irawan.

Tidak berhenti disitu, Gus juga mengungkap temuan bahwa ada korporasi yang menebang pohon di luar titik koordinat yang ditetapkan. Dua laporan resmi yang dikirim Pemkab Tapsel pada Agustus dan September tak pernah digubris pemerintah pusat.

Lebih ironis lagi, Kemenhut sempat meminta Pemkab Tapsel mengeluarkan rekomendasi perpanjangan izin bagi tiga PHAT yang izinnya sudah mati, yakni Anggara Ritonga, Asmadi Ritonga, dan Ramlan Asri. Permintaan itu langsung ditolak.

“Bagaimana mungkin izin mati tapi diminta diperpanjang? Aturan macam apa ini?” tanya Gus Irawan.

Sikap tegas Gus Irawan mendapat dukungan luas. Publik melihatnya sebagai salah satu dari sedikit kepala daerah yang berani menantang jaringan besar yang diduga terlibat dalam penjarahan hutan Tapanuli Selatan.

Ditengah pejabat yang berlindung di balik istilah “cuaca ekstrem” demi menyelamatkan karier, Gus memilih jalan yang jarang dilalui: membongkar fakta apa adanya tanpa peduli siapa yang tersengat.

Ia tidak hanya bekerja secara administratif, tetapi menyeret persoalan pembalakan liar ke ruang publik dan memaksa kementerian untuk berhenti “bermain kata-kata” ketika hutan rusak dan rakyat berduka.

Satu hal kini jelas, keberanian seperti ini jarang ditemukan. Dan selama ada pemimpin seperti Gus Irawan yang berdiri menghadang kerusakan hutan, masyarakat memiliki alasan untuk tetap berharap. (*)

Bagaimana Menurut Anda