BANDAR LAMPUNG, BERITAANDA – Dialog antara aparat kepolisian dan masyarakat biasanya berlangsung dalam nuansa normatif serta penuh formalitas. Namun di Lampung, terjadi hal yang berbeda.
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Lampung Irjen Pol. Helmy Santika menyampaikan pernyataan yang cukup mencengangkan dalam konteks birokrasi keamanan, yakni Polri harus menjadi institusi yang siap menerima kritik.
Pernyataan ini dilontarkan dalam sebuah forum dialog yang mempertemukan Kapolda dengan masyarakat sipil, termasuk kalangan mahasiswa. Suasana diskusi berlangsung santai, namun menyentuh isu-isu fundamental yang selama ini jarang disentuh secara terbuka.
Ditengah krisis kepercayaan publik terhadap berbagai institusi negara, pernyataan Irjen Helmy menjadi angin segar yang patut dicatat dalam dinamika demokrasi lokal.
Sikap terbuka ini mendapat respons positif dari Ketua Jaringan Aktivis Nusantara (JAN), Romadhon Jasn. Menurutnya, pernyataan Kapolda Lampung bukan sekadar retorika manis, melainkan keberanian menyampaikan komitmen yang membutuhkan konsistensi tinggi.
“Dalam negara demokrasi, kekuasaan tanpa kritik adalah jalan buntu. Sebaliknya, membuka pintu kritik menunjukkan bahwa sebuah institusi percaya diri terhadap akal sehatnya sendiri,” ujar Romadhon kepada media, Ahad (11/5/2025).
Romadhon menekankan bahwa Indonesia tidak hanya membutuhkan polisi yang kuat secara fisik dan struktural, tetapi juga yang sadar akan batas-batas kekuasaannya. Dan batas tersebut, kata dia, adalah kritik.
“Yang kita butuhkan bukan hanya polisi yang kuat, tapi polisi yang tahu batas kekuatannya. Kritik adalah batas itu,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa membanggakan statistik pengungkapan kasus atau barisan yang tertib tidak cukup. Ukuran modernitas suatu institusi, menurutnya, terletak pada seberapa besar kemauan aparatnya untuk menerima koreksi, terutama dari rakyat, sumber utama legitimasi mereka.
Romadhon menilai bahwa krisis kepercayaan terhadap institusi seperti Polri bukan semata karena kegagalan dalam menjalankan tugas, tetapi karena sikap defensif terhadap kritik.
“Ketika suara rakyat diposisikan sebagai serangan, maka jarak antara institusi dan publik makin melebar,” katanya.
Dititik inilah, menurutnya, pernyataan Kapolda Lampung akan diuji nilainya, apakah sekadar jargon saat mikrofon menyala, atau benar-benar menjadi kompas ketika kritik datang dari arah yang tak terduga.
“Rakyat tidak menuntut polisi sempurna. Yang dituntut rakyat adalah polisi yang bisa mendengar, menimbang, lalu berubah,” ucapnya.
Romadhon berharap pernyataan dan sikap Helmy Santika tidak hanya menjadi milik Lampung, tetapi menjadi inspirasi nasional.
“Ini seharusnya jadi standar baru Polri. Terbuka bukan karena kewajiban administratif, tapi karena kesadaran intelektual,” tambahnya.
JAN menilai bahwa pembaruan institusi sering kali hanya dinilai dari angka-angka seperti survei kepuasan, penurunan grafik kejahatan, atau statistik kepercayaan publik. Namun yang sering dilupakan adalah pertarungan internal yang lebih fundamental: melawan ego institusional.
Dan menurut Romadhon, kemampuan untuk menerima kritik adalah langkah awal menuju pembaruan sejati, langkah yang paling berat tetapi juga paling jujur.
“Polri harus terus belajar bahwa kritik bukan serangan, melainkan vitamin demokrasi. Jika polisi cukup dewasa menerima ‘vitamin’ itu, maka demokrasi kita akan ikut sehat,” pungkasnya.
JAN menegaskan, langkah awal yang diambil Kapolda Lampung sudah tepat. Namun yang lebih penting adalah menjadikan sikap terbuka terhadap kritik sebagai kultur institusi, bukan sekadar pencitraan.
“Hanya dengan mendengarkan rakyatnya, Polri bisa memperbaiki diri, bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk memastikan bahwa kekuasaan yang mereka miliki digunakan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan,” tutup Romadhon. (Katharina)





























