KAYUAGUNG-OKI, BERITAANDA – Berdalih tidak mengetahui kerap kali digunakan aparatur negara sebagai alasan terhadap sejumlah indikasi penyimpangan anggaran dalam jabatannya. Meski hal tersebut hanyalah untuk sekedar pengalihan semata, namun cukup ironis bila menjabat sebagai bendahara, namun tidak dapat membedakan antara rekening kecamatan dan milik pribadi.
Jaringan Pendamping Kinerja Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ali Musa, mencium aroma kejanggalan dalam hal ini. Karena, bila dalam kesehariannya berkutat di bidang keuangan, sebagai bendahara seharusnya paham akuntansi pembendaharaan.
Ali Musa mengutarakan, menyingkap tabir sinyalemen carut-marut penatausahaan dana Kecamatan Tanjung Lubuk Kecamatan OKI berawal dari laporan hasil pemeriksaan keuangan Badan Pemeriksa Keuangan [BPK] tahun anggaran 2019.
“Potensi kebobolan uang negara nyaris terjadi, sebagai dampak kelalaian. Ada indikasi kong-kalikong oknum di dalamnya. Orang awam pun paham, dana APBD tak dapat dikuasai dalam rekening pribadi. Meskipun, untuk alasan memudahkan operasional,” ujarnya, Senin (7/12).
Menelusuri rekening Kecamatan Tanjung Lubuk Kabupaten OKI dan kros cek rekening koran ke pihak Bank Sumsel Babel, sedikitnya telah terjadi enam kali transaksi pemindah bukuan dari rekening giro Kecamatan Tanjung Lubuk ke rekening pribadi bendahara sebesar Rp 313.955.750.
“Dalam penelusuran transaksi rekening giro, pemindah bukuan dilakukan dengan dua cara, yakni dengan transaksi transfer. Kemudian dengan cara menarik semua uang lalu dipindahkan ke rekening pribadi bendahara,” terangnya.
Ali Musa mengungkapkan alasan memindahkan dana APBD ke rekening pribadi, yakni untuk memudahkan operasional finansial kecamatan. Melalui ATM yang terletak di Tanjung Lubuk, dana tersebut dapat diambil sewaktu-waktu tanpa harus repot mendatangi langsung Bank Sumsel Babel yang terletak di Kayuagung.
Sayangnya, pemindahan dana dari rekening giro kecamatan ini dilakukan oleh bendahara pengeluaran tanpa sepengetahuan camat selaku pengguna anggaran.
“Meski demikian, pemindah bukuan tersebut tidak bisa sembarangan. Harus melalui mekanisme tertentu. Salah satunya dengan melibatkan camat sebagai pimpinan tertinggi. Pengeluaran uang negara harus dipertanggung jawabkan ke publik, beda dengan uang pribadi,” katanya.
Selain kelalaian permanen tersebut, pertanggung jawaban UP/GU nilai realisasi belanja sebagai pertanggung jawaban setiap UP/GU yang diinput ke dalam BKU dan SIMDA tidak didasarkan pengeluaran belanja sebenarnya yang terealisasi.
Dilanjutkan dia, hal berbeda yang dilakukan bendahara. Menurut dia, input nilai pertanggung jawaban sama persis dengan nilai rencana penggunaan saat pengajuan SPP.
Hal ini menyisakan selisih dalam anggaran. Bendahara kemudian menyerahkan kepada camat langsung. Pola ini terkuak saat menelusuri dokumen rencana belanja dan pertanggung jawaban ini juga diketahui bahwa setiap kali pencairan UP/GU ternyata telah direncanakan akan memiliki sisa lebih yang berkisar antara Rp10 juta – Rp 35 juta.
“Berdasarkan hasil konfirmasi kepada camat menunjukkan pengakuannya, selama tahun 2019 telah menerima uang tunai UP maupun GU dari bendahara. Total nilai uang yang diserahkan oleh bendahara pengeluaran selama tahun 2019 berjumlah sebesar Rp 334.080.000,” katanya.
Diteruskan Ali Musa, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah pada Pasal 21 huruf c yang menyatakan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran dilarang menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Terlepas bendahara umum kurang cermat dalam menyusun klausul pada surat perjanjian kerjasama dengan Bank Sumsel Babel, sebagaimana sering dijadikan dalih selama ini. Namun persoalan ini, harus merujuk PP Nomor 12 Tahun 2019 yang mengatur secara rinci,” terang dia.
Sementara itu, Camat Tanjung Lubuk Abdul Hakim saat dikonfirmasi wartawan menyangkal laporan hasil pemeriksaan auditor negara tersebut. Pengakuan dirinya beberapa waktu lalu dihadapan auditor bahwa ia telah menerima uang akhirnya dibantahnya sendiri.
Ia beragumen bahwa dirinya hanya menerima kelebihan dari sisa pembelian laptop sebesar Rp 9 juta dan Rp 4 juta uang raskin. Tak ada yang lain.
“Apa yang disampaikan tidak sesuai. Setahu saya, laporan yang masuk hanya sisa pembelian laptop dan raskin,” bantah dia.
Secara tersirat, persoalan ini dianggap Abdul Hakim sebagai kesalahan bendahara semata. Padahal sejatinya, sebagai pimpinan secara hierarki, tanpa sepengetahuan camat, hal ini tidak mungkin terjadi. Terlebih beberapa bukti menunjukkan setelah auditor mengutip pengakuan camat itu sendiri.
Menurut dirinya bahwa, tindakan bendahara diluar sepengetahuan dirinya. Kendati tak merinci seperti apa tetapi menurutnya, sebagai konsekuensi dari kekeliruan tersebut, yang bersangkutan telah mengundurkan diri dari jabatan bendahara. Ia menegaskan persoalan dengan BPK telah diselesaikan.
“Yang bersangkutan sudah tidak lagi menjabat sebagai bendahara. Beliau mengundurkan diri setelah menyelesaikan persoalan dengan BPK,” tandasnya. [Iwan]































