BANDAR LAMPUNG, BERITAANDA – Lampung Fest 2025 yang mengusung tema ‘Coffee and Tourism’ tidak hanya menampilkan ragam kopi premium melalui lomba manual brew, coffee pairing competition, hingga kopi tubruk kreasi. Di luar paviliun kopi, delapan pedagang kopi keliling justru mencuri perhatian berkat penjualan yang tak kalah tinggi, mencapai ratusan cangkir per hari selama festival.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kopi di Lampung bukan hanya komoditas ekspor berkelas, tetapi juga bagian dari ekonomi rakyat yang hidup dan bertumbuh dari pinggir jalan.
Dengan harga Rp8.000–12.000 per cangkir, pedagang kopi keliling menjadi pilihan banyak pengunjung yang membutuhkan kopi cepat dan terjangkau.
Adi (28), pedagang asal Bandar Lampung, mengaku penjualannya melonjak selama festival.
“Di hari biasa selama festival bisa 50–70 cup. Tapi pas Sabtu dan Ahad bisa sampai 100 cup, bahkan pernah 150 cup. Dari sore sampai malam nggak berhenti,” ujarnya.
Yusuf (32), pedagang dari Metro, juga merasakan hal serupa. Menurutnya, kopi keliling menyasar segmen yang berbeda dari booth premium.
“Kami nggak bersaing sama kafe atau barista. Kami jual kopi cepat, murah, dan cukup buat orang yang butuh minum langsung. Hasil dari sini lumayan buat kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Baik Adi maupun Yusuf menilai Lampung Fest menjadi momentum bagus bagi pedagang keliling.
“Di festival ini kami nggak perlu keliling, orang yang datang ke kami. Ada ribuan pengunjung setiap hari, itu sangat terasa buat kami,” tambah Yusuf.
Jika dihitung, total penjualan delapan pedagang keliling yang beroperasi di sekitar area festival dapat mencapai ratusan hingga lebih dari seribu cangkir per hari. Angka ini menunjukkan tingginya permintaan kopi di level street vendor selama gelaran Lampung Fest 2025.
Beberapa pengunjung mengaku memilih kopi keliling karena kepraktisan. “Jujur, saya bukan pecinta kopi serius. Beli saja yang penting cepat dan murah. Kalau sedang capek keliling begini, es kopi susu Rp10.000 ya sudah cukup,” ujar Nanda (22), pengunjung asal Sukarame.
Pendapat berbeda disampaikan Rusdy (45), pengunjung asal Bukit Kemiling Permai. Menurutnya, pedagang keliling tetap memiliki tempat selama mereka menjaga kebersihan dan konsistensi rasa.
“Tidak harus seenak kopi di kafe. Buat saya yang penting bersih, harganya masuk akal, dan tidak terlalu manis. Ada dua pedagang di sini yang rasanya lumayan,” katanya.
Rusdy menilai kontras antara booth kopi premium dan kopi keliling memperlihatkan rentang pelaku dalam ekosistem kopi Lampung, dari industri kreatif hingga pelaku mikro di jalanan.
“Keduanya mencerminkan wajah kopi Lampung yang berlapis dan dinamis,” ujarnya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung, Bobby Irawan, menilai keberadaan kopi keliling justru memperkaya ekosistem festival. Menurutnya, keberagaman pelaku, dari barista profesional hingga pedagang mikro, menunjukkan bahwa budaya kopi Lampung hidup di semua lapisan masyarakat.
“Festival ini punya banyak lapisan pengunjung. Ada yang datang untuk mencicip kopi premium, ada yang hanya ingin menikmati suasana sambil minum kopi sederhana. Pedagang keliling mengisi kebutuhan itu,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa dalam kegiatan berskala besar seperti Lampung Fest, keragaman pelaku ekonomi kreatif merupakan hal yang wajar dan justru berkontribusi pada perputaran ekonomi masyarakat.
“Festival seperti ini kami rancang sebagai ruang besar. Di sini pelaku bisa bertemu, belajar, dan melihat peluang. Soal peningkatan teknik atau kualitas, itu bagian yang bisa didorong oleh komunitas dan industrinya,” kata Bobby. (*)





























