Hulu Gundul, Kabupaten Porak-Poranda: Mengapa Tapsel Harus Membayar?

194

TAPANULI SELATAN, BERITAANDA — Dibalik lumpur yang menelan rumah, dibalik tangis warga yang kehilangan keluarga, ada satu cerita yang mengalir dari hulu, hutan yang perlahan hilang.

Dan ketika hutan itu runtuh, Tapanuli Selatan (Tapsel) pun ikut terseret bersama derasnya banjir bandang dan longsor pada akhir November 2025 ini.

Bupati Tapsel Gus Irawan Pasaribu bukan hanya memantau puing bencana saat tiba di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, Sabtu (29/11/2025) petang. Ia datang membawa unek-unek yang selama ini tersimpan, sekaligus ‘kebenaran pahit’ yang ia katakan tak bisa lagi disembunyikan.

“Ini ada penebangan hutan kelihatannya di hulu,” ujarnya dengan nada getir, menatap bukit yang kini tampak telanjang di kejauhan. “Dengan intensitas hujan yang amat sangat tinggi, hancurlah semua.”

Bukan tanpa peringatan, bukan pula tanpa upaya. Gus Irawan mengungkapkan bahwa sejak Juli ia sudah menyurati Menteri Kehutanan, memohon agar penebangan dihentikan. Permohonan itu sempat ditindaklanjuti melalui edaran Dirjen Pengolahan Hutan Lestari yang menyetop penebangan kayu.

Namun jeda itu hanya berlangsung tiga bulan. Izin penebangan kembali dikeluarkan. Dan seperti bom waktu yang tak lagi dapat menghitung mundur, bencana pun meledak di akhir November.

“Tanggal 14 November, saya sudah melayangkan surat protes lagi. Kami sudah membayangkan risikonya. Ekosistem Batang Toru itu bukan sekadar hutan,” ungkapnya.

Disana ada Pongo tapanuliensis, satwa langka yang hanya hidup di kawasan itu. Ada pula proyek strategis nasional PLTA 510 MW. Semua berpotensi terdampak bila hulu digunduli.

Ucapan itu bukan sekadar kritik. Ada nada peringatan sekaligus kekecewaan yang terbungkus dalam kalimat-kalimat yang ia sampaikan. Orang nomor satu di Pemkab Tapsel itu seolah menggambarkan sebuah ironi: Tapsel yang selama ini menjaga harmoni alam, justru terancam oleh keputusan birokrasi di luar daerahnya.

Bencana yang Tak Sekadar Angka

Selasa (25/11/2025), hujan yang turun tanpa jeda sejak sehari sebelumnya berubah menjadi monster yang benar-benar menakutkan. Air bah menabrak permukiman, membawa serta material pohon dan tanah dari hulu, memutus jalan, memporakporandakan jembatan, meratakan rumah, dan merenggut nyawa.

Dari 15 kecamatan, 13 diantaranya terdampak. Hingga Sabtu (29/11/2025) sore, angka korban tak lagi sekadar statistik, antara lain 46 orang meninggal dunia, 50 orang masih hilang, puluhan luka berat dan ringan, serta sekitar 5.000 warga mengungsi.

Puluhan fasilitas umum lumpuh, infrastruktur daerah hingga berstatus nasional rusak parah, serta listrik dan akses transportasi terputus di banyak titik.

Di tenda pengungsian, cerita-cerita pilu terdengar berulang, seperti anak yang terpisah dari orang tua, warga yang selamat hanya dengan pakaian di badan, dan mereka yang masih menggenggam harapan samar untuk menemukan keluarga yang hilang.

Suara dari Hulu yang Terlanjur Terlambat Didengar

Tragedi Tapsel bukan hanya tentang curah hujan ekstrem. Ini juga tentang keputusan yang dibuat dan dicabut, dari balik meja kantor. Ini tentang surat peringatan yang datang sebelum bencana, tetapi tidak cukup kuat menghentikan roda izin yang terus berputar.

Ketika hulu kehilangan pohon, hilang pula penahan airnya. Dan ketika alam kehilangan keseimbangannya, manusia kehilangan perlindungan terakhirnya.

Kini, setelah nyawa melayang dan ribuan hidup berubah, suara dari Tapsel semakin lantang. Hentikan izin yang merugikan lingkungan, jangan ulangi kesalahan yang sama, dan dengarkan suara dari hulu sebelum bencana berikutnya datang. Sebuah tragedi yang lahir bukan hanya dari hujan, tetapi dari pengabaian yang seharusnya tidak pernah terjadi. [Anwar]

Bagaimana Menurut Anda