TAPANULI SELATAN, BERITAANDA – Bencana di Tapanuli Selatan (Tapsel) pada penghujung November 2025 bukan sekadar musibah alam. Ia adalah potret pahit bagaimana ulah manusia, kelalaian kebijakan, dan lemahnya pengawasan akhirnya menagih harga yang sangat mahal.
Lebih dari lima puluh nyawa melayang, puluhan hilang, dan puluhan lainnya luka-luka. Infrastruktur rusak, ekonomi lumpuh, dan trauma menghantui ribuan warga. Namun tragedi ini tidak datang tiba-tiba. Ia sudah disinyalkan jauh hari.
Peringatan yang Diteriakkan, Tapi Tak Didengar
Sejak Juli 2025, Bupati Tapsel, Gus Irawan Pasaribu, sudah mengirim surat resmi kepada Menteri Kehutanan. Ia memperingatkan bahwa hulu Batang Toru sudah tidak beres. Ada penebangan hutan yang tampak masif dan berbahaya. Ia meminta agar aktivitas itu dihentikan demi keselamatan warganya.
Respons awal sebenarnya baik. Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari menerbitkan edaran untuk menghentikan penebangan kayu. Namun jeda itu hanya berlangsung tiga bulan. Setelah itu, izin kembali turun. Mesin-mesin kembali masuk. Hutan kembali digerus. Dan seperti bom waktu yang tak lagi mampu menghitung mundur, bencana itu pun meledak pada akhir November.
Bupati bahkan mengaku telah kembali mengirim surat protes kedua pada 14 November. Ia sudah melihat ancaman besar di depan mata. Katanya, ekosistem Batang Toru bukan sekadar hutan.
Di sana ada Pongo tapanuliensis, orangutan paling langka di dunia. Ada proyek strategis nasional PLTA 510 MW yang justru bertumpu pada stabilitas ekosistem hulu. Dan yang paling penting: ada nyawa masyarakat di hilir yang menjadi taruhan.
Pertanyaannya, mengapa sebuah izin penebangan lebih kuat daripada peringatan seorang bupati yang mengetahui langsung risiko ekologis wilayahnya?.
Kerusakan yang Dibayar dengan Nyawa
Begitu hulu digunduli, tanah tak lagi memiliki akar untuk mengikatnya. Begitu hujan turun, air membawa lumpur, batu, kayu, dan seluruh material yang seharusnya ditahan oleh hutan. Sungai meluap. Lereng longsor. Hilir dihantam tanpa ampun. Ini bukan sekadar fenomena alam. Ini adalah konsekuensi dari keputusan manusia.
Bupati Tapsel bahkan mengungkapkan sebuah ironi yang menyesakkan: kementerian yang seharusnya menjaga hutan justru mengeluarkan izin yang membuka jalan bagi kerusakan. Ia balik bertanya: berapa sebenarnya nilai yang masuk ke kas negara dari izin itu dibanding dengan kerugian banjir bandang di Batang Toru?. Pertanyaan yang sulit dijawab tanpa menundukkan kepala.
Bencana yang Akan Selalu Berulang Jika Akar Masalah Tak Disentuh
Ada pola yang terus berulang di negeri ini. Ketika bencana datang, kita sibuk menolong korban. Tapi setelah itu, semuanya kembali seperti biasa.
Penegakan hukum berhenti di tengah jalan. Rehabilitasi hutan menjadi seremoni tanam pohon yang tidak pernah dirawat. Pengawasan menyusut. Perambahan aktif kembali. Hulu yang sempat diam kembali riuh oleh mesin.
Jika pola ini tetap dibiarkan, maka banjir bandang di Tapsel bukan kejadian terakhir. Ia hanya bab pertama dari babak-babak berikutnya yang tinggal menunggu hujan deras berikutnya.
Ekonomi vs Ekologi: Kebijakan yang Tak Pernah Jelas Sikapnya
Selama ini kita terjebak dalam dilema palsu, seolah menjaga hutan berarti menghambat ekonomi. Padahal justru bencana seperti inilah yang mematikan ekonomi secara brutal.
Satu izin penebangan mungkin tampak menguntungkan di atas kertas. Tetapi berapa nilainya dibanding 52 nyawa yang hilang, 48 orang hilang, 58 orang luka-luka, puluhan miliar kerusakan infrastruktur, serta hancurnya masa depan ribuan keluarga?. Tidak ada kalkulator ekonomi yang bisa menjustifikasi kerugian sebesar itu.
Saatnya Mengatakan yang Seharusnya Dikata
Istilah bencana alam sering membuat kita seolah tak punya kendali, seolah ini takdir. Padahal kenyataannya, banyak dari bencana itu adalah hasil keputusan manusia.
Di Tapsel, alam tidak “mengamuk”. Alam hanya membalas perlakuan yang diterimanya. Kita boleh menyalahkan hujan deras, curah hujan ekstrem, atau cuaca yang tak menentu. Tapi itu hanya sebagian kecil. Penyebab terbesar adalah hilangnya keseimbangan ekologis yang kita sendiri rusak.
Apa yang Harus Dilakukan?
Opini ini bukan sekadar kritik. Ia adalah ajakan untuk berubah:
- Kementerian harus mengevaluasi izin-izin yang dikeluarkan, terutama di kawasan sensitif seperti Batang Toru.
- Penegakan hukum harus menyasar aktor besar, bukan hanya pelaku kecil di lapangan.
- Reboisasi harus serius, tidak bisa lagi menjadi acara simbolik.
- Pemda harus diberi ruang lebih besar untuk mengatur kawasan ekologisnya.
- Masyarakat harus diajak menjadi penjaga hutan, bukan sekadar penonton.
- Jika tidak, kita hanya sedang menunggu jadwal bencana berikutnya.
Akhirnya, Pertanyaan Itu Kembali Mengemuka
Akankah bencana buatan manusia di Tapsel kembali terulang?. Jawabannya sederhana, akan selalu terulang selama izin lebih dihargai daripada nyawa.
Tapsel sudah memberikan peringatan dini. Bahkan alam pun telah berbicara keras.
Kini tinggal kita: apakah memilih mendengar, atau membiarkan tragedi berikutnya menunggu giliran?. (*)































