PWI Sumsel Kecam Keras Aksi Intimidasi dan Pengeroyokan Terhadap 3 Jurnalis di OKI

314

KAYUAGUNG-OKI, BERITAANDA – Persatuan Wartawan Indonesia Sumatera Selatan (PWI Sumsel) mengecam keras aksi intimidasi dan pengeroyokan terhadap 3 jurnalis tengah liputan rapat desa membahas terkait penyelenggaraan acara adat terhadap warga terlibat perselingkuhan, dilaksanakan di kantor Desa Celikah Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

“Intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis merupakan perbuatan melawan hukum, karena dalam menjalankan tugasnya wartawan dilindungi hukum. Perbuatan ini tidak boleh dibiarkan, harus segera diusut tuntas,” jelas Ketua PWI Sumsel Firdaus Komar saat menyambangi kantor PWI OKI, Jumat (29/3/2019) siang.

Dihadapan Kepala Dinas Kominfo OKI Dwi Muzawal Zulkarnain diwakili Kasi Kemitraan Komunikasi Publik Heri Susanto, dan sejumlah rekan jurnalis lainnya, Firdaus juga mengatakan, wartawan yang tengah liputan di kantor desa setempat ini sudah memenuhi unsur kaidah jurnalistik, sehingga kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan tidak perlu terjadi jika semua pihak menghargai tugas wartawan.

“Insiden yang menimpa ini tak boleh dibiarkan. Jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Pers dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik, yang meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik,” tegasnya.

Pria berkacamata ini mendesak penegak hukum segera mengungkap dan menangkap para pelaku yang turut melakukan pengeroyokan. Ia menilai, langkah yang ditempuh wartawan di Kabupaten OKI melalui proses hukum sudah tepat. Ia juga berjanji mengawal kasus pengeroyokan ini agar dapat berjalan sesuai dengan perlindungan yang diberikan undang-undang.

“Kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan tugas merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999,” urainya.

Dirinya tidak menampik mendapati ulah kurang terpuji yang dilakukan oknum wartawan di lapangan. Namun dirinya menolak jika semua wartawan dianggap berkelakuan sama, sehingga dapat begitu saja melakukan kekerasan.

“Kelakuan oknum nakal tentunya tidak dibenarkan. Bukan berarti keseluruhan. Yang perlu digarisbawahi yakni, intimidasi dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis akan menghalangi hak publik untuk memperoleh berita yang akurat dan benar,” tandasnya.

Salah seorang korban pengeroyokan, Mat Bodok, yang mewakili rekan lainnya mengatakan, pengeroyokan yang terjadi ini sudah menjadi resiko sebagai jurnalis. Ia juga menilai, insiden dalam rapat desa sudah ditunggangi, sehingga masyarakat mudah diprovokasi.

Meskipun demikian, pengeroyokan yang menimpanya termasuk dalam pelanggaran pidana karena melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Ia mengutip, adapun ancaman hukuman bagi orang yang menghalangi kemerdekaan pers dalam UU Pers yaitu, penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

“Kami berharap dengan penegakan hukum ini, dapat memberikan efek jera, sehingga menjadi semacam perlindungan terhadap ketakutan jurnalis dalam menjalankan tugasnya, dari mulai liputan, menulis, hingga mempublikasikan, di tengah ancaman kekerasan dari masyarakat,” jelasnya.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, ketiga wartawan media cetak dan online di Bumi Bende Seguguk ini masing-masing bernama Mat Bodok (40), Sanfriawan (43) dan Wahid Aryanto (35) nyaris babak belur dikeroyok massa yang diduga telah diprovokasi.

Terkait insiden ini, Kades Celikah Kartiwan mengatakan, ia tidak membenarkan aksi intimidasi dan kekerasan terjadi yang menimpa wartawan media cetak dan online saat hadir dalam rapat.

“Kami selaku kades dan perangkat desa menyayangkan terjadinya insiden yang melibatkan warganya dengan sejumlah wartawan,” ucapnya ketika dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Jumat (29/03/2019) malam.

Ia menduga, insiden ini terjadi lantaran wartawan tidak menggubris permintaan warga untuk tidak diliput. Bahkan, dirinya yang sampaikan langsung dengan salah satu wartawan, Mat Bodok. Namun wartawan tersebut tetap pada keinginannya sendiri.

Ia melanjutkan, sebelumnya ia menyampaikan langsung keberatan peliputan. Perangkat desa telah memintanya untuk tidak meliput, dan melakukan pemotretan jalannya rapat.

“Kalau bisa pak, ini jangan diliput, jangan difoto-foto, ini rapat tertutup untuk masyarakat,” tuturnya menirukan permintaan perangkat desa.

Permintaan itu, sambungnya, tidak digubris wartawan yang bersangkutan. Sehingga ia sendiri yang menemui Mat Bodok untuk menjelaskan keberatan peliputan.

“Akhirnya kami (kades -red) yang nemui Kak Mat Bodok itu. Aku mohon kak, kalo biso jangan diliput, diberitake. Bukannyo atas namo oknum pelaku, ini atas namo baik Desa Celikah. Kalo dijadike berita kami yang malu,” ungkapnya.

Ia menduga, mungkin karena itu warga lalu jengkel dengan kehadiran wartawan. Karena sebelumnya telah disepakati, handphone warga yang hadir dalam rapat tertutup dalam keadaan mati (off).

“Makanya seluruh handphone warga yang hadir dimatikan, jangan sampai direkam, jangan sampai divideokan,” terangnya.

Ia beralasan, kasus perselingkuhan ini merupakan aib desa yang tidak perlu diumbar menjadi konsumsi publik, karena rapat ini bersifat tertutup yang diikuti hanya warga Desa Celikah saja.

“Karena ini masih rapat adat, makanya tidak perlu diliput. Mungkin nanti saat penyelenggaraan hukum adat, boleh saja diliput,” tandasnya. (Iwan)

Bagaimana Menurut Anda